Globalisasi dan migrasi internasional
bukanlah suatu fenomena yang baru dalam dunia ini. Pada
akhir abad dua
puluh,
jumlah penduduk dunia yang terlibat dalam
migrasi lintas negara mengalami peningkatan. Permasalahan tersebut di sertai
juga dengan perluasan isu yang terjadi secara global. Isu yang terjadi dalam
ranah gobal tidak lagi selalu mengenai perang dan damai serta konflik. Terdapat
isu lain seperti ekonomi, sosial, budaya, politik, HAM, lingkungan, kesehatan,
serta isu kejahatan transnasional yang telah menjadi persoalan bagi sejumlah aktor
negara dan aktor non negara. Seperti
pada penjelasan di bawah ini :
“The development of the
international relations phenomenon, shifting the issue to non-state actors also
puts transnational crime into an interesting subject for international
relations researches.” (Sinaga,2014:119).
Penjelasan
tersebut dapat di definisikan, bahwa di dalam perkembangan isu yag terdapat di
dalam hubungan internasional telah mengalami pergeseran perubahan isu. Sehingga
aktor non negara menempatkan isu kejahatan transnasional kedalam bagian yang
menarik bagi penelitian hubugan internasional. Untuk kejahatan transnasional,
isu tersebut telah menjadi bagian awal dalam memanfaatkan kemajuan globalisasi
(Shelley,2010:2).
Kejahatan
transnasional terorganisasi dapat di definisikan untuk siapa saja yang
memperkaya kepentingan dirinya dengan menggunakan orang melalui lintas negara.
Tujuannya adalah untuk memperoleh kekuasaan, pengaruh, keuntungan atau
komersial, seluruhnya atau sebagian dengan cara ilegal. Selain itu, kejahatan
terorganisir merupakan fenomena yang muncul dari budaya dan masyarakat yang
berbeda, serta dari negara-negara di seluruh dunia. Hal ini telah menjadi skala
global di dalam wilayah geografis tertentu, kelompok etnis tunggal atau sistem
sosial (Schloenhardt,1999:203).
Dengan
begitu, mereka dapat melindungi aktivitas yang terkait dengan kekerasan atau
melindungi kegiatan ilegal yang dilakukannya dengan struktur organisasi
transnasional dan eksploitasi perdagangan transnasional atau mekanisme
komunikasi. Tidak ada struktur tunggal yang membawahi kegiatan kejahatan
transnasional terorganisasi. Mereka memiliki berbagai variasi diantaranya dari
hirarki hingga ke klan, jaringan, unit serta melibatkan berbagai struktur lain.
Dikarenakan,
terdapat kemudahan bagi manusia dalam menggunakan fasilitas (tekhnologi dan
komunikasi) yang diberikan dari dampak kemajuan globalisasi tersebut. Kejahatan
transnasional juga dapat dikendalikan oleh negara lain dan dapat berkomitmen
dengan negara lain, seperti penjelasan dibawah ini :
“Transnational crime could be
commiyyed in a country, yet affects many other countries or committed in a
country but controlled from another country.”(Sinaga,2014:131).
Sedangkan dalam National Institute of Justice Journal
menyebutkan juga bahwa, PBB mendefinisikan kejahatan transnasional sebagai: offenses whose inception, prevention, and/or
direct or indirect effects involve more than one country (Finckenauer,2000:3). Kejahatan
transnasional terdapat di dalamnya bagian-bagian yang mempunyai tipe kejahatan,
seperti : drugs trafficking, people
smuggling, illegal migrant, corruption dan trafficking in person (women and child), serta terdapat sejumlah
tipe kejahatan lainnya yang dilakukan melewati antar negara. Dari tipe
kejahatan yang disebutkan diatas, terdapat salah satu bagian dari kejahatan tersebut
mengenai penyelundupan manusia serta perdagangan manusia. penyulundupan manusia
dan perdagangan manusia merupakan bagian yang paling cepat berkembang di dunia
ini. Dikarenakan, kedua tipe kejahatan tersebut memiliki faktor demand dan supply di dalam unsur kejahatan itu (Shelley,2010:2).
Selain itu, penyulundupan manusia dan
perdagangan manusia merupakan dua tipe yang sering disamaartikan oleh sejumlah
orang. Sebenarnya antara penyelundupan manusia dengan perdagangan manusia merupakan
dua tipe kejahatan yang berbeda. Perbedaan yang mencolok terdapat pada proses pengiriman
manusia untuk menuju ke negara tujuannya (Anorowitz,2009:1). Walaupun terdapat perbedaan
dalam proses pengirimannya, keduanya terdapat kesamaan untuk proses
bermigrasinya yaitu sama-sama melalui proses ilegal. Dengan penjelasan tersebut
maka mengenai isu penyelundupan manusia dengan perdagangan manusia merupakan
dua hal kejahatan yang berbeda.
Mengenai
kejahatan Trafficking In Person (TIP)
kejahatan tersebut merupakan suatu kegiatan yang sulit untuk diperkirakan secara
tepat berapa jumlah korban yang telah diperdagangkan setiap tahunnya. Dikarenakan,
dari kegiatan perdagangan manusia, terdapat sifat yang terorganisir serta
terdapat kelompok etnis yang berbeda-beda yang menyebabkan isu tersebut sulit
untuk diketahui. Dari sifat serta pelaku yang berbeda-beda itu maka, dalam
proses mendapatkan jumlah berapa korban yang sudah diperdagangkan sangat sulit
untuk diketahuinya secara tepat.
Dalam
Protocol To Prevent, Suppress And Punish
Trafficking In Persons, Especially women And Children, Supplementiing The
United Nations Convention Againts Transnational Organized Crime menyebutkan
bahwa tindakan efektif untuk mencegah dan memerangi perdagangan orang, terutama
perempuan dan anak-anak, membutuhkan pendekatan Internasional secara
komprehensif di negara asal, transit serta negara tujuan (United Nations,
2004:1).
Dimana terdapat langkah-langkah untuk
melakukan pencegahan serta hukuman bagi para pelaku, dan perlindungan bagi
korban perdagangan tersebut, termasuk melindungi mereka dalam Hak Asasi Manusia.
Meskipun terdapat berbagai instrumen Internasional yang berisi mengenai aturan
dan langkah-langkah praktis dalam memerangi eksploitasi orang, terutama
perempuan dan anak-anak. Tetapi, hal tersebut tidak didukung dengan instrumen
universal yang membahas semua aspek perdagangan orang. Dikhawatirkan, apabila
tidak terdapat instrumen tersebut menyebabkan orang rentan terhadap perdagangan
manusia tidak terlindungi.
Oleh
sebab itu, mengingat resolusi Majelis Umum 53/111 tanggal 9 Desember 1998 yang memutuskan
untuk membentuk Komite terbuka antar pemerintah ad hoc dengan tujuan menguraikan
sebuah konvensi Internasional yang komprehensif terhadap kejahatan transnational
serta mengenai perluasan yang sesuai dengan instrumen Internasional dalam menangani
perdagangan manusia (perempuan dan anak-anak). Dari pembahasan tersebut,
terdapat tiga protokol yang diuraikan dari konvensi Internasional terhadap
kejahatan transnational yaitu :
1.
To prevent, suppress and punish trafficking in persons,
especially women and children (Trafficking Protocol).
2.
Against the smuggling of migrants by land, air and sea (Smuggling Protocol). Dan terakhir adalah
3.
Against the illicit manufacturing of and trafficking in
firearms, their parts and components and ammunition (Firearms Protocol). (www.unodc.org/pdf/crime/a_res_55/255e.pdf
diakses pada 21 April 2016).
Dari
penjelasan diatas, maka hal tersebut meyakini bahwa untuk melengkapi konvensi
PBB dalam menentang kejahatan transnasional terorganisir malalui instrumen Internasional
untuk pencegahan, penindasan serta hukuman dalam kasus perdagangan orang (perempuan
dan anak-anak) akan berguna dalam mencegah dan memberantas kejahatan tersebut. Maka,
dalam Artikel 3 halaman 2 di dalam Protocol
To Prevent, Suppress And Punish Trafficking In Persons yang di buat Perserikatan
Bangsa Bangsa menuliskan bahwa perdagangan manusia dapat diartikan sebagai :
The recruitment, transportation,
transfer, harbouring or receipt of persons, by means of the threat or use of
force or other forms of coercion, of abduction, of fraud, of deception, of the
abuse of power or of a position of vulnerability or of the giving or receiving
of payments or benefits to achieve the consent of a person having control over
another person, for the purpose of exploitation. Exploitation shall include, at
a minimum, the exploitation of the prostitution of others or other forms of
sexual exploitation, forced labour or services, slavery or practices similar to
slavery, servitude or the removal of organs (www.osce.org/odihr/19223?download=true
di akses pada 21 April 2016).
Selain
dari penjelasan diatas mengenai definisi perdagangan manusia yang terdapat
dalam Protocol To Prevent, Suppress And
Punish Trafficking In Persons yang dibuat Perserikatan Bangsa Bangsa Artikel
3 huruf (a), terdapat juga penjelasan mengenai persetujuan korban perdagangan
manusia yang dimaksudkan untuk eksploitasi tidak menjadi relevan apabila,
ditemukan cara-cara yang tertera di dalam Artikel 3 huruf (a). Terdapat juga
mengenai perekrutan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seorang anak untuk
tujuan eksploitasi harus dianggap sebagai "perdagangan manusia, meskipun
hal ini tidak meliputi cara-cara sub ayat (a). Terakhir adalah dalam konteks
anak, hal ini dimaksudkan adalah seseorang yang mempunyai usia dibawah delapan
belas tahun.
Dari
penjelasan tersebut sudah jelas terlihat bagaimana persoalan perdagangan
manusia sudah menjadi bagian persoalan yang harus ditangani secara serius bagi
semua negara, tidak hanya untuk negara pengirim, negara tujuan dan negara
transit saja. Selain itu, indikasi perdagangan manusia juga dapat terjadi
melalui pergerakan migrasi, apabila terdapat unsur-unsur yang dilakukan seperti
dibawah ini (Laczko dan Gozdziak,2005:10) :
1.
Terdapatnya uang
(bentuk pembayaran lainnya) yang berpindah tangan.
2.
Terlibatnya pelaku
atau orang yang memfasilitasi.
3.
Melintasi atau
melewati batas Internasional.
4.
Masuk secara ilegal.
5.
Pergerakan yang
sukarela.
Dari
penjelasan PBB mengenai perdagangan manusia telah jelas disebutkan, bahwa kasus
perdagangan manusia terdapat salah satu bentuknya dengan cara pemaksaan. Tetapi
pertanyaan sekarang adalah bagaimana orang menafsirkan istilah pemaksaan dan
penipuan dalam kasus perdagangan manusia? Istilah pemaksaan dalam kasus
perdagangan manusia, biasanya dilakukan ketika korban tersebut telah diculik. Maksudnya
adalah, pada saat para pelaku melakukan negosiasi terhadap korban dengan modus mendapatkan
lapangan pekerjaan yang benar, hal tersebut bukanlah termasuk unsur paksaan,
tetapi merupakan penipuan (Aronowitz, 2009:2).
Penipuan
dapat juga menjadi half truths (tidak
secara seluruh penipuan) apabila pelaku memberitahu kepada korban akan bekerja
di ‘‘entertainment industry’’ sebagai
penari atau strippers. Hal tersebut
dikarenakan korban perdagangan manusia (wanita) ini akan menduga terdapat
beberapa kontak fisik (seksual) yang akan didapatnya dengan menerima pekerjaan
tersebut, tetapi tanpa disadari mereka akan dipaksa untuk menjadi pekerja seks
komersial.
Isu
perdagangan manusia, dapat dipahami melalui perspektif yang berbeda, dapat melalui
perspektif globalisasi, hukum, migrasi, tenaga kerja, HAM, perbudakan, sebagai
pasar ilegal dan sebagai isu pembangunan (Aronowitz, 2009:23). Dalam hal
globalisasi, dapat dilihat dengan terciptanya peningkatan akan hal mendapatkan
penghasilan dalam membeli kebutuhan dasar. Selain itu, terdapat persaingan
dalam konteks pekerja asing serta fenomena globalisasi juga memberikan pengaruh
bagi pertumbuhan kejahatan transnasional, seperti yang yang dikutip dibawah :
“Globalization phenomenon has
given strong support on transnational crime growth. These support include
communication, transportation and technology access for transnational criminals
to plan their evil scheme at a global level ”(Sinaga,2014:130).
Perdagangan
manusia sudah menjadi isu yang sentral dalam era globalisasi sekarang ini, hal
ini mengakibatkan banyak pola yang berbeda dalam pergerakan serta bentuk
eksploitasi. Seperti contoh anak-anak yang berasal dari Vietnam diperdagangkan
ke Inggris untuk keterlibatan kerja paksa dalam penyelundupan narkoba, pria
Thailand yang diperdagangkan ke negara Inggris untuk eksploitasi tenaga kerja,
perempuan Cina diperdagangkan ke Afghanistan untuk eksploitasi seksual
komersial.
Dari
contoh diatas, dapat dilihat bahwa terdapat pergerakan yang berbeda-beda dari
negara satu ke negara lainnya dengan bentuk eksploitasi yang berbeda. Tidak
hanya itu saja, perdagangan Internasional telah mempunyai kawasan yang luas
dikarenakan sebagian besar kasus trafficking
dimotivasi oleh pencarian peluang ekonomi yang lebih besar (Cameron dan Newman,
2008:58). Hal tersebut menjadikan sebagian negara tujuan setuju akan
dilakukannya bentuk kerjasama dengan organisasi internasional.
Sedangkan
untuk kasus perdagangan manusia yang terjadi di dalam wilayah suatu negaranya,
hal tersebut merupakan salah satu persoalan yang sering diabaikan oleh
pemerintah setempat bahkan lebih sulit dalam segi mengidentifikasi. Persoalan
ini mungkin sudah dianggap mudah, apabila semua negara menawarkan perlindungan
dalam bentuk HAM yang paling dasar bagi warganya.
Untuk
segi tenaga kerja, isu perdagangan manusia dapat dillihat dengan dari sisi
permintaan dan penawaran. Dalam konteks migrasi isu perdagangan manusia lebih
sering dikaitkan, hal tersebut dikarenakan terdapat dua migrasi berbeda yang
kerap terjadi dalam perdagangan manusia. Pertama adalah migrasi internal,
dimana migrasi tersebut berasal dari desa menuju ke ibu kota atau metropolitan
dimana migrasi tersebut masih dalam satu wilayah negara. Sedangkan migrasi
eksternal adalah migrasi yang berasal dari negara berkembang menuju ke negara
industri lebih.
Dalam
segi pembangunan, terdapat beberapa faktor di dalamnya yang menyebabkan
perdagangan manusia dapat terjadi seperti kondisi penghasilan rendah, rendahnya
pendidikan, dan minimnya lapangan pekerjaan dan kondisi kemiskinan. Kondisi
kemiskinan merupakan faktor kunci yang paling sering ditemukan dalam kasus
perdagangan manusia, tetapi tidak semua orang miskin di negaranya menjadi
korban perdagangan. Sehingga hal tersebut telah memberikan kontribusi atas
pertumbuhan kasus perdagangan manusia. Selain itu, pertumbuhan dalam skala
besar yang disebabkan oleh perdagangan manusia menghasilkan perhatian yang
serius bagi dunia Internasional.
Dalam
segi pasar ilegal, perdagangan manusia merupakan bentuk kegiatan ekonomi. Perdagangan
dapat dilihat sebagai bentuk bisnis yang
bertujuan untuk membuat keuntungan, perdagangan harus dilihat sebagai bisnis.
Dimana hal tersebut bertindak sebagai '' perantara '' dalam gerakan global
antara negara asal dan negara tujuan. Selain itu perdagangan manusia dapat
dilihat sebagai interaksi antara penawaran dan permintaan yang terjadi di ilegal
market tersebut. Dalam negara asal, terdapat mimpi dari orang-orang untuk
mempunyai kehidupan yang lebih baik dalam menghidupi diri sendiri dan
keluarganya. Sedangkan untuk di negara penerima, terdapat lapangan pekerjaan
bagi tenaga kerja murah dan bisnis prostitusi (Aronowitz, 2009:25).
Dari penjelasan tersebut menunjukan bahwa, fenomena
perdagangan manusia mempunyai sejumlah
perspektif untuk didefinisikan. Hal tersebut
membuat isu mengenai perdagangan manusia semakin kompleks serta luas dalam hal
pencegahannya. Sehingga dekade terakhir ini, terdapat beberapa faktor telah
memainkan peran dalam mendukung mobilisasi ppergerakan tersebut seperti dari ekonomi,
politik dan sosial dari globalisasi. Selain itu, pemerintah di seluruh dunia
telah menerapkan kebijakan dan program baru dalam upaya memerangi kasus
perdagangan manusia.
Hal
tersebut dapat dilihat dengan terdapatnya bantuan asing yang diberikan oleh
negara kaya dalam mendukung kegiatan anti perdagangan manusia yang terjadi di
negara miskin di dunia (Cameron dan Newman,2008:75). Selain itu, terdapat
inisiatif kerjasama bilateral dan multilateral dalam pembagian informasi dalam
bidang hukum yang dilakukan dalam membantu memerangi perdagangan transnasional.
Daftar Pustaka :
Daftar Pustaka :
Aronowitz, Alexis A. 2009. Human Trafficking, Human Misery : The Global Trade In Human Beings. United States of America: Praege Publishers. Pp 1-25.
Cameron, Sally and Edward Newman. 2008. Trafficking in humans: Social, cultural and political dimensions. New York. United Nations University Press. Hal 58-75.
Finckenauer, James O. 2000. Meeting the Challenge of Transnational Crime. National Institute of Justice Journal. Hal 3.
Laczko, Frank dan Elzbieta M. Godziak, 2005. Data and Research oh Human Trafficking: A Global Survey. International Organization for Migration. Vol 43 (1/2). Switzerland. Hal 10.
Schloenhardt, Andreas. 1999. Organized crime and the business of migrant trafficking, Kluwer Academic Publisher: Australia.. Hal 203.
Shelley, Louise. 2010. Human Trafficking A Global Perspective, New York: Cambridge University Press. Hal 2.
Sinaga, Obsatar. 2014. Securitization and Global Terrorism Threat. The Social Sciences Medwell Journals. Vol 9 no 2. Bandung: University Padjadjaran. Hal 119-131.
Cameron, Sally and Edward Newman. 2008. Trafficking in humans: Social, cultural and political dimensions. New York. United Nations University Press. Hal 58-75.
Finckenauer, James O. 2000. Meeting the Challenge of Transnational Crime. National Institute of Justice Journal. Hal 3.
Laczko, Frank dan Elzbieta M. Godziak, 2005. Data and Research oh Human Trafficking: A Global Survey. International Organization for Migration. Vol 43 (1/2). Switzerland. Hal 10.
Schloenhardt, Andreas. 1999. Organized crime and the business of migrant trafficking, Kluwer Academic Publisher: Australia.. Hal 203.
Shelley, Louise. 2010. Human Trafficking A Global Perspective, New York: Cambridge University Press. Hal 2.
Sinaga, Obsatar. 2014. Securitization and Global Terrorism Threat. The Social Sciences Medwell Journals. Vol 9 no 2. Bandung: University Padjadjaran. Hal 119-131.