Perdagangan Manusia

Perdagangan Manusia

Illegal Migrant

Illegal Migrant

Terrorism

Terrorism

People smuggling

People Smuggling

Drugs Trafficking

Drugs Trafficking

Sabtu, 30 Januari 2016

Perdagangan Manusia





Globalisasi dan migrasi internasional bukanlah suatu fenomena yang baru dalam dunia ini. Pada akhir abad dua puluh, jumlah penduduk dunia yang terlibat dalam migrasi lintas negara mengalami peningkatan. Permasalahan tersebut di sertai juga dengan perluasan isu yang terjadi secara global. Isu yang terjadi dalam ranah gobal tidak lagi selalu mengenai perang dan damai serta konflik. Terdapat isu lain seperti ekonomi, sosial, budaya, politik, HAM, lingkungan, kesehatan, serta isu kejahatan transnasional yang telah menjadi persoalan bagi sejumlah aktor negara dan  aktor non negara. Seperti pada penjelasan di bawah ini : 
“The development of the international relations phenomenon, shifting the issue to non-state actors also puts transnational crime into an interesting subject for international relations researches.” (Sinaga,2014:119).
Penjelasan tersebut dapat di definisikan, bahwa di dalam perkembangan isu yag terdapat di dalam hubungan internasional telah mengalami pergeseran perubahan isu. Sehingga aktor non negara menempatkan isu kejahatan transnasional kedalam bagian yang menarik bagi penelitian hubugan internasional. Untuk kejahatan transnasional, isu tersebut telah menjadi bagian awal dalam memanfaatkan kemajuan globalisasi (Shelley,2010:2).
Kejahatan transnasional terorganisasi dapat di definisikan untuk siapa saja yang memperkaya kepentingan dirinya dengan menggunakan orang melalui lintas negara. Tujuannya adalah untuk memperoleh kekuasaan, pengaruh, keuntungan atau komersial, seluruhnya atau sebagian dengan cara ilegal. Selain itu, kejahatan terorganisir merupakan fenomena yang muncul dari budaya dan masyarakat yang berbeda, serta dari negara-negara di seluruh dunia. Hal ini telah menjadi skala global di dalam wilayah geografis tertentu, kelompok etnis tunggal atau sistem sosial (Schloenhardt,1999:203).
Dengan begitu, mereka dapat melindungi aktivitas yang terkait dengan kekerasan atau melindungi kegiatan ilegal yang dilakukannya dengan struktur organisasi transnasional dan eksploitasi perdagangan transnasional atau mekanisme komunikasi. Tidak ada struktur tunggal yang membawahi kegiatan kejahatan transnasional terorganisasi. Mereka memiliki berbagai variasi diantaranya dari hirarki hingga ke klan, jaringan, unit serta melibatkan berbagai struktur lain.
Dikarenakan, terdapat kemudahan bagi manusia dalam menggunakan fasilitas (tekhnologi dan komunikasi) yang diberikan dari dampak kemajuan globalisasi tersebut. Kejahatan transnasional juga dapat dikendalikan oleh negara lain dan dapat berkomitmen dengan negara lain, seperti penjelasan dibawah ini :
“Transnational crime could be commiyyed in a country, yet affects many other countries or committed in a country but controlled from another country.”(Sinaga,2014:131).
Sedangkan dalam National Institute of Justice Journal menyebutkan juga bahwa, PBB mendefinisikan kejahatan transnasional sebagai: offenses whose inception, prevention, and/or direct or indirect effects involve more than one country (Finckenauer,2000:3). Kejahatan transnasional terdapat di dalamnya bagian-bagian yang mempunyai tipe kejahatan, seperti : drugs trafficking, people smuggling, illegal migrant, corruption dan trafficking in person (women and child), serta terdapat sejumlah tipe kejahatan lainnya yang dilakukan melewati antar negara. Dari tipe kejahatan yang disebutkan diatas, terdapat salah satu bagian dari kejahatan tersebut mengenai penyelundupan manusia serta perdagangan manusia. penyulundupan manusia dan perdagangan manusia merupakan bagian yang paling cepat berkembang di dunia ini. Dikarenakan, kedua tipe kejahatan tersebut memiliki faktor demand dan supply di dalam unsur kejahatan itu (Shelley,2010:2).
 Selain itu, penyulundupan manusia dan perdagangan manusia merupakan dua tipe yang sering disamaartikan oleh sejumlah orang. Sebenarnya antara penyelundupan manusia dengan perdagangan manusia merupakan dua tipe kejahatan yang berbeda. Perbedaan yang mencolok terdapat pada proses pengiriman manusia untuk menuju ke negara tujuannya (Anorowitz,2009:1). Walaupun terdapat perbedaan dalam proses pengirimannya, keduanya terdapat kesamaan untuk proses bermigrasinya yaitu sama-sama melalui proses ilegal. Dengan penjelasan tersebut maka mengenai isu penyelundupan manusia dengan perdagangan manusia merupakan dua hal kejahatan yang berbeda.
Mengenai kejahatan Trafficking In Person (TIP) kejahatan tersebut merupakan suatu kegiatan yang sulit untuk diperkirakan secara tepat berapa jumlah korban yang telah diperdagangkan setiap tahunnya. Dikarenakan, dari kegiatan perdagangan manusia, terdapat sifat yang terorganisir serta terdapat kelompok etnis yang berbeda-beda yang menyebabkan isu tersebut sulit untuk diketahui. Dari sifat serta pelaku yang berbeda-beda itu maka, dalam proses mendapatkan jumlah berapa korban yang sudah diperdagangkan sangat sulit untuk diketahuinya secara tepat.
Dalam Protocol To Prevent, Suppress And Punish Trafficking In Persons, Especially women And Children, Supplementiing The United Nations Convention Againts Transnational Organized Crime menyebutkan bahwa tindakan efektif untuk mencegah dan memerangi perdagangan orang, terutama perempuan dan anak-anak, membutuhkan pendekatan Internasional secara komprehensif di negara asal, transit serta negara tujuan (United Nations, 2004:1).
 Dimana terdapat langkah-langkah untuk melakukan pencegahan serta hukuman bagi para pelaku, dan perlindungan bagi korban perdagangan tersebut, termasuk melindungi mereka dalam Hak Asasi Manusia. Meskipun terdapat berbagai instrumen Internasional yang berisi mengenai aturan dan langkah-langkah praktis dalam memerangi eksploitasi orang, terutama perempuan dan anak-anak. Tetapi, hal tersebut tidak didukung dengan instrumen universal yang membahas semua aspek perdagangan orang. Dikhawatirkan, apabila tidak terdapat instrumen tersebut menyebabkan orang rentan terhadap perdagangan manusia tidak terlindungi.
Oleh sebab itu, mengingat resolusi Majelis Umum 53/111 tanggal 9 Desember 1998 yang memutuskan untuk membentuk Komite terbuka antar pemerintah ad hoc dengan tujuan menguraikan sebuah konvensi Internasional yang komprehensif terhadap kejahatan transnational serta mengenai perluasan yang sesuai dengan instrumen Internasional dalam menangani perdagangan manusia (perempuan dan anak-anak). Dari pembahasan tersebut, terdapat tiga protokol yang diuraikan dari konvensi Internasional terhadap kejahatan transnational yaitu :
1.      To prevent, suppress and punish trafficking in persons, especially women and children (Trafficking Protocol).
2.      Against the smuggling of migrants by land, air and sea (Smuggling Protocol). Dan terakhir adalah
3.      Against the illicit manufacturing of and trafficking in firearms, their parts and components and ammunition (Firearms Protocol). (www.unodc.org/pdf/crime/a_res_55/255e.pdf diakses pada 21 April 2016).
Dari penjelasan diatas, maka hal tersebut meyakini bahwa untuk melengkapi konvensi PBB dalam menentang kejahatan transnasional terorganisir malalui instrumen Internasional untuk pencegahan, penindasan serta hukuman dalam kasus perdagangan orang (perempuan dan anak-anak) akan berguna dalam mencegah dan memberantas kejahatan tersebut. Maka, dalam Artikel 3 halaman 2 di dalam Protocol To Prevent, Suppress And Punish Trafficking In Persons yang di buat Perserikatan Bangsa Bangsa menuliskan bahwa perdagangan manusia dapat diartikan sebagai :
The recruitment, transportation, transfer, harbouring or receipt of persons, by means of the threat or use of force or other forms of coercion, of abduction, of fraud, of deception, of the abuse of power or of a position of vulnerability or of the giving or receiving of payments or benefits to achieve the consent of a person having control over another person, for the purpose of exploitation. Exploitation shall include, at a minimum, the exploitation of the prostitution of others or other forms of sexual exploitation, forced labour or services, slavery or practices similar to slavery, servitude or the removal of organs (www.osce.org/odihr/19223?download=true di akses pada 21 April 2016).

Selain dari penjelasan diatas mengenai definisi perdagangan manusia yang terdapat dalam Protocol To Prevent, Suppress And Punish Trafficking In Persons yang dibuat Perserikatan Bangsa Bangsa Artikel 3 huruf (a), terdapat juga penjelasan mengenai persetujuan korban perdagangan manusia yang dimaksudkan untuk eksploitasi tidak menjadi relevan apabila, ditemukan cara-cara yang tertera di dalam Artikel 3 huruf (a). Terdapat juga mengenai perekrutan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seorang anak untuk tujuan eksploitasi harus dianggap sebagai "perdagangan manusia, meskipun hal ini tidak meliputi cara-cara sub ayat (a). Terakhir adalah dalam konteks anak, hal ini dimaksudkan adalah seseorang yang mempunyai usia dibawah delapan belas tahun.
Dari penjelasan tersebut sudah jelas terlihat bagaimana persoalan perdagangan manusia sudah menjadi bagian persoalan yang harus ditangani secara serius bagi semua negara, tidak hanya untuk negara pengirim, negara tujuan dan negara transit saja. Selain itu, indikasi perdagangan manusia juga dapat terjadi melalui pergerakan migrasi, apabila terdapat unsur-unsur yang dilakukan seperti dibawah ini (Laczko dan Gozdziak,2005:10) :
1.      Terdapatnya uang (bentuk pembayaran lainnya) yang berpindah tangan.
2.      Terlibatnya pelaku atau orang yang memfasilitasi.
3.      Melintasi atau melewati batas Internasional.
4.      Masuk secara ilegal.
5.      Pergerakan yang sukarela.
Dari penjelasan PBB mengenai perdagangan manusia telah jelas disebutkan, bahwa kasus perdagangan manusia terdapat salah satu bentuknya dengan cara pemaksaan. Tetapi pertanyaan sekarang adalah bagaimana orang menafsirkan istilah pemaksaan dan penipuan dalam kasus perdagangan manusia? Istilah pemaksaan dalam kasus perdagangan manusia, biasanya dilakukan ketika korban tersebut telah diculik. Maksudnya adalah, pada saat para pelaku melakukan negosiasi terhadap korban dengan modus mendapatkan lapangan pekerjaan yang benar, hal tersebut bukanlah termasuk unsur paksaan, tetapi merupakan penipuan (Aronowitz, 2009:2).
Penipuan dapat juga menjadi half truths (tidak secara seluruh penipuan) apabila pelaku memberitahu kepada korban akan bekerja di ‘‘entertainment industry’’ sebagai penari atau strippers. Hal tersebut dikarenakan korban perdagangan manusia (wanita) ini akan menduga terdapat beberapa kontak fisik (seksual) yang akan didapatnya dengan menerima pekerjaan tersebut, tetapi tanpa disadari mereka akan dipaksa untuk menjadi pekerja seks komersial.
Isu perdagangan manusia, dapat dipahami melalui perspektif yang berbeda, dapat melalui perspektif globalisasi, hukum, migrasi, tenaga kerja, HAM, perbudakan, sebagai pasar ilegal dan sebagai isu pembangunan (Aronowitz, 2009:23). Dalam hal globalisasi, dapat dilihat dengan terciptanya peningkatan akan hal mendapatkan penghasilan dalam membeli kebutuhan dasar. Selain itu, terdapat persaingan dalam konteks pekerja asing serta fenomena globalisasi juga memberikan pengaruh bagi pertumbuhan kejahatan transnasional, seperti yang yang dikutip dibawah :
“Globalization phenomenon has given strong support on transnational crime growth. These support include communication, transportation and technology access for transnational criminals to plan their evil scheme at a global level(Sinaga,2014:130).
Perdagangan manusia sudah menjadi isu yang sentral dalam era globalisasi sekarang ini, hal ini mengakibatkan banyak pola yang berbeda dalam pergerakan serta bentuk eksploitasi. Seperti contoh anak-anak yang berasal dari Vietnam diperdagangkan ke Inggris untuk keterlibatan kerja paksa dalam penyelundupan narkoba, pria Thailand yang diperdagangkan ke negara Inggris untuk eksploitasi tenaga kerja, perempuan Cina diperdagangkan ke Afghanistan untuk eksploitasi seksual komersial.
Dari contoh diatas, dapat dilihat bahwa terdapat pergerakan yang berbeda-beda dari negara satu ke negara lainnya dengan bentuk eksploitasi yang berbeda. Tidak hanya itu saja, perdagangan Internasional telah mempunyai kawasan yang luas dikarenakan sebagian besar kasus trafficking dimotivasi oleh pencarian peluang ekonomi yang lebih besar (Cameron dan Newman, 2008:58). Hal tersebut menjadikan sebagian negara tujuan setuju akan dilakukannya bentuk kerjasama dengan organisasi internasional.
Sedangkan untuk kasus perdagangan manusia yang terjadi di dalam wilayah suatu negaranya, hal tersebut merupakan salah satu persoalan yang sering diabaikan oleh pemerintah setempat bahkan lebih sulit dalam segi mengidentifikasi. Persoalan ini mungkin sudah dianggap mudah, apabila semua negara menawarkan perlindungan dalam bentuk HAM yang paling dasar bagi warganya.
Untuk segi tenaga kerja, isu perdagangan manusia dapat dillihat dengan dari sisi permintaan dan penawaran. Dalam konteks migrasi isu perdagangan manusia lebih sering dikaitkan, hal tersebut dikarenakan terdapat dua migrasi berbeda yang kerap terjadi dalam perdagangan manusia. Pertama adalah migrasi internal, dimana migrasi tersebut berasal dari desa menuju ke ibu kota atau metropolitan dimana migrasi tersebut masih dalam satu wilayah negara. Sedangkan migrasi eksternal adalah migrasi yang berasal dari negara berkembang menuju ke negara industri lebih.
Dalam segi pembangunan, terdapat beberapa faktor di dalamnya yang menyebabkan perdagangan manusia dapat terjadi seperti kondisi penghasilan rendah, rendahnya pendidikan, dan minimnya lapangan pekerjaan dan kondisi kemiskinan. Kondisi kemiskinan merupakan faktor kunci yang paling sering ditemukan dalam kasus perdagangan manusia, tetapi tidak semua orang miskin di negaranya menjadi korban perdagangan. Sehingga hal tersebut telah memberikan kontribusi atas pertumbuhan kasus perdagangan manusia. Selain itu, pertumbuhan dalam skala besar yang disebabkan oleh perdagangan manusia menghasilkan perhatian yang serius bagi dunia Internasional.
Dalam segi pasar ilegal, perdagangan manusia merupakan bentuk kegiatan ekonomi. Perdagangan dapat dilihat sebagai bentuk bisnis yang bertujuan untuk membuat keuntungan, perdagangan harus dilihat sebagai bisnis. Dimana hal tersebut bertindak sebagai '' perantara '' dalam gerakan global antara negara asal dan negara tujuan. Selain itu perdagangan manusia dapat dilihat sebagai interaksi antara penawaran dan permintaan yang terjadi di ilegal market tersebut. Dalam negara asal, terdapat mimpi dari orang-orang untuk mempunyai kehidupan yang lebih baik dalam menghidupi diri sendiri dan keluarganya. Sedangkan untuk di negara penerima, terdapat lapangan pekerjaan bagi tenaga kerja murah dan bisnis prostitusi (Aronowitz, 2009:25).
Dari penjelasan tersebut menunjukan bahwa, fenomena perdagangan manusia mempunyai sejumlah perspektif untuk didefinisikan. Hal tersebut membuat isu mengenai perdagangan manusia semakin kompleks serta luas dalam hal pencegahannya. Sehingga dekade terakhir ini, terdapat beberapa faktor telah memainkan peran dalam mendukung mobilisasi ppergerakan tersebut seperti dari ekonomi, politik dan sosial dari globalisasi. Selain itu, pemerintah di seluruh dunia telah menerapkan kebijakan dan program baru dalam upaya memerangi kasus perdagangan manusia.
Hal tersebut dapat dilihat dengan terdapatnya bantuan asing yang diberikan oleh negara kaya dalam mendukung kegiatan anti perdagangan manusia yang terjadi di negara miskin di dunia (Cameron dan Newman,2008:75). Selain itu, terdapat inisiatif kerjasama bilateral dan multilateral dalam pembagian informasi dalam bidang hukum yang dilakukan dalam membantu memerangi perdagangan transnasional. 

Daftar Pustaka :


Aronowitz, Alexis A. 2009. Human Trafficking, Human Misery : The Global Trade In Human Beings. United States of America: Praege Publishers. Pp 1-25.

Cameron, Sally and Edward Newman. 2008. Trafficking in humans: Social, cultural and political dimensions. New York. United Nations University Press. Hal 58-75.

Finckenauer, James O. 2000. Meeting the Challenge of Transnational Crime. National Institute of Justice Journal. Hal 3.

Laczko, Frank dan Elzbieta M. Godziak, 2005. Data and Research oh Human Trafficking: A Global Survey. International Organization for Migration. Vol 43 (1/2)Switzerland. Hal 10.

Schloenhardt, Andreas. 1999. Organized crime and the business of migrant trafficking, Kluwer Academic Publisher: Australia.. Hal 203.

Shelley, Louise. 2010. Human Trafficking A Global Perspective, New York: Cambridge University Press. Hal 2.

Sinaga, Obsatar. 2014. Securitization and Global Terrorism Threat. The Social Sciences Medwell Journals. Vol 9 no 2. Bandung: University Padjadjaran. Hal 119-131.







Share:

Blogger templates